Memaknai Orasi Kebangsaan Pamor Wicaksono, Hendri Yertus: Hidupkan Nilai Kearifan Lokal

 

MENYAPA KONSTITUEN - Anggota DPRD Brebes Pamor Wicaksono,SH menyapa konstituen di acara orasi kebangsaan belum lama ini. (Foto:Redaksi). 

GEMA PANTURA (Brebes) - Sebagai seorang penyair, Hendi Yertus memaknai Orasi Kebangsaan bung Besar Pamor Wicaksono dari konsep pengunaan bahasa.

Orasi Kebangsaan bukan sekadar penyampaian gagasan, melainkan juga pertunjukan tentang bagaimana berbangsa membingkai cara berpikir dan bertindak.

Dalam orasinya bung Besar Pamor Wicaksono melakukan sebuah tindakan yang strategis dan penuh kesadaran: mengunakan bahasa Indonesia ketika berbicara konteks nasional, lalu beralih  kepada bahasa Jawa ketika menyentuh persoalan lokal Brebes.

Pergeseran bahasa ini bukanlah sekadar perubahan alat komunikasi, tetapi sebuah pernyataan filosofis. Penggunaan bahasa Jawa dipilih secara sengaja untuk mengekstrak dan menghidupkan nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi jiwa dari gerakan "Brebes Beres."
        
Bahasa Jawa berfungsi sebagai jembatan emosional dan kultural yang autentik. Brebes memiliki denyut nadi kehidupan yang dihidupi oleh nilai-nilai Jawa. Ketika bung Besar Pamor Wicaksono  menggunakan frasa seperti "kudu nyengkuyung' ia tidak hanya menyampaikan seruan, tetapi menggemakan sebuah panggilan kolektif yang akrab di telinga dan hati warga Brebes.

Kata "nyengkuyung" lebih dalam dari sekadar "mendukung"; ia mengandung makna gotong royong, bantuan konkret, dan rasa tanggung jawab bersama yang timbul dari ikatan komunal.

Bahasa Indonesia seringkali terlalu formal dan generik untuk menangkap nuansa filosofis semacam ini. Dengan bahasa Jawa, Pamor Wicaksono menyentuh akar kultural di mana nilai-nilai itu hidup dan bernafas.
       
Bahasa Jawa menjadi sarana reaktualisasi nilai-nilai kesatriaan Jawa dalam konteks kekinian. Frasa "Maju Katon Dadane, Mundur Katon Gegere" adalah sebuah metafora visual yang sangat kuat, berasal dari ethos kesatriaan Jawa.

Frasa ini melukiskan sikap seorang kesatria yang berani menghadapi tantangan (maju, menunjukkan dada) dan tidak lari dari tanggung jawab (mundur, menunjukkan punggung, bukan kabur).

Dalam konteks Brebes, nilai ini diterjemahkan menjadi keberanian untuk mendukung program pembangunan ("Wani Ndukung") dan sekaligus keberanian untuk bertanggung jawab penuh atas konsekuensinya ("Wani nyengkuyung").

Pamor, dengan menggunakan idiom budaya ini, mengangkat semangat pembangunan dari sekadar program administratif menjadi sebuah "laku" atau tindakan bermartabat.

Ia mengajak warga Brebes untuk tidak menjadi penonton atau pengejek, tetapi menjadi aktor-aktor yang berintegritas dan berani bertanggung jawab di panggung pembangunan kotanya.
      
Pilihan bahasa ini adalah bentuk resistensi terhadap homogenisasi dan dehumanisasi dalam wacana politik modern. Wacana politik nasional seringkali didominasi oleh bahasa Indonesia yang teknokratis, penuh dengan jargon, dan rentan terhadap politisasi kata-kata yang membuatnya kehilangan makna sejati.

Kata "dukung" dalam politik nasional bisa berarti sekadar dukungan politis yang transaksional. Namun, dengan kembali ke "Wani Ndukung" dan "nyengkuyung" dalam bahasa Jawa, Pamor membersihkan makna "dukung" tersebut dari muatan transaksional.

Ia mengembalikannya pada makna asalnya yakni dukungan yang lahir dari keberanian, komitmen, dan rasa kebersamaan. Dengan demikian, penggunaan bahasa Jawa adalah sebuah upaya untuk membangun diskursus politik yang lebih manusiawi, etis, dan berbasis pada nilai-nilai kolektif yang telah teruji oleh waktu.
          
Alih bahasa Pamor Wicaksono dari Indonesia ke Jawa bukanlah sekadar gaya retorika, melainkan sebuah strategi kebudayaan yang cerdas dan mendalam.  Bahasa Jawa dipilih karena ia adalah gudang nilai yang menyimpan filosofi hidup masyarakatnya.

Ia adalah cermin identitas yang merefleksikan cara sebuah komunitas memandang dunia. Dan yang terpenting, ia adalah jantung dari makna yang memompakan vitalitas dan kedalaman pada seruan-seruan yang disampaikan.

"Brebes Beres" akan tetap menjadi slogan kosong jika tidak dijiwai oleh semangat "nyengkuyung". Dengan merangkul bahasa ibunya, Pamor tidak hanya berbicara kepada pikiran warga Brebes, tetapi menyapa jiwanya, mengajak mereka untuk membangun daerahnya  tidak hanya dengan tangan dan pikiran, tetapi juga dengan hati dan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.

Pada akhirnya, pidato ini mengajarkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan haruslah berakar pada seni-budaya. Pamor Wicaksono sebagai anggota DPRD kini sekaligus didaulat oleh para seniman untuk menjadi Ketua Dewan Kesenian Brebes.  Mendengarkan isi orasi  dari seorang  Pamor Wicaksono, saya sedikit memiliki harapan pada Brebes, harapan akan adanya perubahan cara pandang terhadap kesenian.

Menanggapi itu, Pamor Wicaksono mengatakan, dirinya berharap semua Penyelenggara Pemerintahan di Kabupaten Brebes ,rukun Guyub, Guyub Rukun dalam memberikan pelayanan terbaik untuk Masyarakat Kabupaten Brebes, dalam bidang Seni, Pemerintah senantiasa memberikan ruang yang sangat terbuka untuk semua seniman di Brebes, Jer Basuki Mawa Bea, semua butuh Pengorbanan , semua butuh biaya.

Saya juga menekankan supaya kita semua Warga Brebes tercinta bisa menerapkan sesanti Kabupaten Brebes, Mangesti Wicara Ebhahing Pradja, bersatunya Rakyat dan Pemerintah untuk berjuang dan berkarya demi kesejahteraan dan kemajuan Masyarakat Kabupaten Brebes.

Salam Seni Meninggi, Tuhan Merakhmati, seni hadir sebagai penyelaras rasa, ketika kondisi Ekonomi dan Politik sedang carut marut sekalipun. (Harvi)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Memaknai Orasi Kebangsaan Pamor Wicaksono, Hendri Yertus: Hidupkan Nilai Kearifan Lokal"

Posting Komentar